Krisis
Kepercayaan Publik dan Krisis Pendidikan Karakter
dalam
Sidang MKD
Oleh
Aryanto, S.Pd.*)
Kurang
lebih tiga minggu kita menyaksikan drama yang mengisahkan pencatutan nama
presiden yang dilakukan ketua DPR dalam upaya perpanjangan kontrak Freeport. Pada
rentang waktu itu, kita menyaksikan aksi serang, bela diri, dan serangan balik
dalam berbagai tayangan pemberitaan baik media cetak maupun media audiovisual. Lebih
menarik lagi kita menyimak sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang disiarkan
secara live di stasiun televisi.
Masih
teringat di benak kita, pada pertengahan November 2015 waktu isu awal
digulirkan, sebagaimana dikutip dari SOLOPOS,
13 November 2015, bahwa Ketua Umum PAN yang sekaligus ketua MPR, Zulkifli Hasan menyampaikan harapan kepada
Menteri ESDM, Sudirman Said untuk mengungkapkan identitas politikus pencatut
nama presiden ke ranah publik. Komentar tersebut diamini oleh berbagai pihak
seperti Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Wakil Presiden Yusuf Kalla, pengamat-pengamat
politik yang lain. Presiden Jokowi pun yang namanya dicatut menyerahkan
sepenuhnya wewenang kepada MKD. Harapan dan dukungan dari berbagai pihak
mendorong isu ini berlanjut ke sidang MKD.
Sebenarnya
awal MKD bersidang sudah mendapatkan ketidakpercayaan dari masyarakat. Apalagi,
berangkat dari keputusan yang diberikan kepada Setya Novanto terkait pertemuan
dan kehadirannya di konferensi pers Donald Trump di Amerika Serikat. Ketidakpercayaan
masyakarat pun muncul kembali ketika MKD mempermasalahkan kata dapat dalam legal standing laporan Sudirman
Said sebagai menteri ESDM yang melaporkan anggota DPR ke dewan etik DPR (MKD).
MKD harus mendatangkan pakar bahasa Dr. Yayah Bachria untuk menjelaskan hal
itu.
Ketidakpercayaan
publik mengemuka kembali ketika ada asumsi bahwa terdapat beberapa anggota MKD
yang berusaha mengamankan kasus Novanto. Hal itu terlihat ketika sejumlah
fraksi di DPR melakukan perombakan anggota di MKD. Diikuti juga dengan upaya
manuver dari beberapa anggota MKD untuk mengganjal kelanjutan sidang MKD dengan
mempermasalahkan verifikasi bukti rekaman pembicaraan antara Novanto, Riza
Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin.
Publik
menyimak pelaksanaan sidang perdana MKD pada tanggal 2 Desember 2015 secara live berjam-jam di depan televisi.
Sidang tersebut menghadirkan Sudirman Said sebagai terlapor. Dalam sidang
tersebut, publik pun disuguhkan rekaman percakapan antara Novanto, Riza Chalid,
dan Maroef Sjamsudin. Sebagaimana dikutip SOLOPOS,
3 Desember 2015, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray
Rangkuti mengomentari bahwa sidang MKD sudah seperti debat kusir karena tidak
membahas substansi laporan. Bahkan, beberapa anggota MKD seakan-akan
menyudutkan Sudirman Said layaknya terdakwa.
Sidang
MKD berikutnya pun menghadirkan bos PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsudin.
Maroef pun menjelaskan kronologi dan motif pertemuan. Bahkan, Maroef pun berani
memberi kesaksikan bahwa Setya Novanto tidak memiliki kewenangan dalam
negosiasi kontrak karya Freeport. Dikutip SOLOPOS,
4 Desember 2015, Maroef menjawab pertanyaan Syarifudin Sudding bahwa 20 persen
akan dibagi 11 persen untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden.
Hal
yang berbeda terjadi pada sidang MKD yang ketiga. Sidang ini dilaksanakan
tertutup. Pelaksanannya berbeda dengan sidang sebelumnya. Sidang MKD ini
menghadirkan teradu yaitu Setya Novanto. Sidang MKD kali ini tertutup karena
alasan teknis dan khawatir jika ada informasi yang menyangkut rahasia negara.
Berdasarkan
uraian kronologis pelaksanaan sidang MKD di atas, publik pun bisa menilai bahwa
terdapat muatan politis persidangan MKD. Ketidakpercayaan yang sudah muncul sejak
awal ketika kasus ini ditangani oleh MKD seolah-olah semakin diamini dalam
persidangan-persidangan berikutnya. Ditambah lagi berbagai manuver politik dari
beberapa anggota MKD yang berusaha mengganjal sidang. Yang lebih meyakinkan
lagi ketika terdapat ketidakadilan pelaksanaan sidang MKD yang menghadirkan
Ketua DPR, Setya Novanto. Bak makan buah simalakama, hasil sidang MKD akan
menjadi bom waktu bagi DPR kalau hasil persidangan tidak sesuai dengan kehendak
rakyat.
Krisis pendidikan karakter
Dagelan
politik yang disuguhkan pemimpin-pemimpin negeri ini sebenarnya merupakan
tamparan yang keras terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sesuai
dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi
untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat. Pembentukannya berwujud penumbuhan karakter sikap beretika (sopan
santun dan beradab).
Sesuai
dengan penjelasan Donie Koesoema dalam Ali (2012:180) bahwa paradigma
pengimplementasian pendidikan karakter dalam pembelajaran harus disinergikan.
Paradigma yang pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan moral yang
lebih sempit yaitu menanamkan moral dalam diri anak. Paradigma yang kedua
adalah melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral
yang lebih luas dengan melihat keseluruhan peristiwa sosial kemasyarakatan dari
prespektif pendidikan. Artinya, orientasi pembelajaran dalam upaya menumbuhkan
karakter sikap beretika harus menyinergikan hubungan antara pelaku pendidikan
lain, seperti guru, keluarga, masyarakat, dan negara.
Pemufakatan
antara Setya Novanto sebagai ketua DPR dengan pengusaha Riza Chalid dan Maroef
Sjamsoedin, Bos PT Freeport menjadi model buruk bagi dunia pendidikan. Hal itu merupakan
pembusukan karakter di ruang publik. Apalagi kita menyimak dalam pemufakatan
tersebut ada ungkapan yang mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk
memperpanjang kontrak karya PT Freeport. Lebih ironi lagi, kita menyimak isi
rekaman pembicaraan yang berujar bahwa Novanto menyebut Jokowi orang yang koppig alias keras kepala. Ada lagi,
Riza Chalid yang menjelaskan akan bilang ke Luhut untuk membagi saham 20 persen
yaitu 11 persen ke presiden dan 9 persen ke wakil presiden. Ditambah lagi,
janji dari Riza Chalid bahwa mereka akan happy-happy
jika masalah saham selesai.
Pembusukan
karakter di ruang publik akan menghambat implementasi nilai-nilai moral dalam
ranah pendidikan. Penumbuhan moralitas diupayakan berangkat dari keluarga, difasilitasi
lewat berbagai metode dan pendekatan belajar di sekolah, dan dibiasakan dalam lingkungan
masyarakat seolah-olah sirna ketika negara belum bisa memberikan contoh teladan
yang baik. Seharusnya negara mampu memberikan contoh teladan yang baik dan
penuh moralitas melalui perilaku para pejabat negara. Sinergitas penbangunan
karakter menjadi pincang. Ironi lagi, pendidikan karakter hanyalah ilusi belaka
dalam implementasinya.
Melanggar nilai kesantunan
berbahasa
Mengutip
menelisik percakapan “Papa Minta Saham” pada SOLOPOS, 3 Desember 2015, terdapat ujaran yang berisi Novanto menyebut
Jokowi orang yang koppig alias keras
kepala. Sesuai dengan penjelasan Wijana (1996: 97-98), bahwa berbicara sebagai
retorika interpesonal pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan
memiliki sejumlah maksim kebijaksanaan, kemurahan, penerimaan, kerendahan
hatian, kecocokan, dan kesimpatian. Ujaran Setya Novanto yang memberikan
komentar terhadap Presiden Jokowi melanggar maksim kemurahan. Mengapa demikian?
Karena maksim kemurahan menggunakan kalimat ekspresif dan asertif yang menuntut
untuk penutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa
tidak hormat kepada orang lain. Contoh, kalimat yang mengekspresikan “Permainanmu sangat bagus” lebih sopan
daripada mengeskpresikan “Permainanmu
tidak bagus sama sekali.” Dengan demikian, Setya Novanto dalam tuturannya yang
mengatakan Jokowi Kopig atau keras kepala menerapkan ekspresi meminimalkan
rasa hormat kepada orang lain dalam hal ini Presiden Jokowi. Tuturan Ketua DPR,
Setya Novanto dapat dinilai tidak sopan.
Dengan
demikian, pelaksanaan sidang MKD memberikan kelebihan dan kelemahan bagi
masyarakat. Kelebihannya adalah dengan terbukanya pelaksanaan sidang MKD
memberikan kesempatan masyarakat untuk memperoleh informasi seputar pelanggaran
etika ketua DPR secara langsung. Namun, kelemahannya adalah publik dapat
melihat model pemufakatan dalam sidang yang penuh dengan manuver politik yang
berpihak pada kepentingan golongan yang berakibat ketidakpercayaan publik.
Selain itu, ada model teladan yang buruk di wilayah publik ketika publik
menyimak secara langsung rekaman pembicaraan yang berisi pemufakatan jahat yang
dilakukan ketua DPR Setya Novanto tentang perpanjangan kontrak karya Freeport. Terdapat
pula tuturan-tuturan yang melanggar prinsip kesopanan. Hal itu menyebabkan kebuntuan
implementasi pendidikan karakter.
*) Staff Pengajar SMP Muhammadiyah Program Khusus
Kottabarat Surakarta
Peminat isu moral dan
pendidikan karakter
Daftar Pustaka
Anggota
IKAPI. 2010. Undang-Undang Sisdiknas.
Bandung: Fokus Media
Ali,
Mohamad. 2012. Menyemai Sekolah Bertaraf
Internasional. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Wijana,
I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik.
Yogyakarta: Andi Offset
Tidak ada komentar:
Posting Komentar