Selasa, 10 Mei 2016

Krisis Kepercayaan Publik dan Krisis Pendidikan Karakter dalam Sidang MKD



Krisis Kepercayaan Publik dan Krisis Pendidikan Karakter
dalam Sidang MKD
Oleh Aryanto, S.Pd.*)
Kurang lebih tiga minggu kita menyaksikan drama yang mengisahkan pencatutan nama presiden yang dilakukan ketua DPR dalam upaya perpanjangan kontrak Freeport. Pada rentang waktu itu, kita menyaksikan aksi serang, bela diri, dan serangan balik dalam berbagai tayangan pemberitaan baik media cetak maupun media audiovisual. Lebih menarik lagi kita menyimak sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang disiarkan secara live di stasiun televisi.
Masih teringat di benak kita, pada pertengahan November 2015 waktu isu awal digulirkan, sebagaimana dikutip dari SOLOPOS, 13 November 2015, bahwa Ketua Umum PAN yang sekaligus ketua MPR,  Zulkifli Hasan menyampaikan harapan kepada Menteri ESDM, Sudirman Said untuk mengungkapkan identitas politikus pencatut nama presiden ke ranah publik. Komentar tersebut diamini oleh berbagai pihak seperti Menko Kemaritiman Rizal Ramli, Wakil Presiden Yusuf Kalla, pengamat-pengamat politik yang lain. Presiden Jokowi pun yang namanya dicatut menyerahkan sepenuhnya wewenang kepada MKD. Harapan dan dukungan dari berbagai pihak mendorong isu ini berlanjut ke sidang MKD.
Sebenarnya awal MKD bersidang sudah mendapatkan ketidakpercayaan dari masyarakat. Apalagi, berangkat dari keputusan yang diberikan kepada Setya Novanto terkait pertemuan dan kehadirannya di konferensi pers Donald Trump di Amerika Serikat. Ketidakpercayaan masyakarat pun muncul kembali ketika MKD mempermasalahkan kata dapat dalam legal standing laporan Sudirman Said sebagai menteri ESDM yang melaporkan anggota DPR ke dewan etik DPR (MKD). MKD harus mendatangkan pakar bahasa Dr. Yayah Bachria untuk menjelaskan hal itu.
Ketidakpercayaan publik mengemuka kembali ketika ada asumsi bahwa terdapat beberapa anggota MKD yang berusaha mengamankan kasus Novanto. Hal itu terlihat ketika sejumlah fraksi di DPR melakukan perombakan anggota di MKD. Diikuti juga dengan upaya manuver dari beberapa anggota MKD untuk mengganjal kelanjutan sidang MKD dengan mempermasalahkan verifikasi bukti rekaman pembicaraan antara Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsoeddin.
Publik menyimak pelaksanaan sidang perdana MKD pada tanggal 2 Desember 2015 secara live berjam-jam di depan televisi. Sidang tersebut menghadirkan Sudirman Said sebagai terlapor. Dalam sidang tersebut, publik pun disuguhkan rekaman percakapan antara Novanto, Riza Chalid, dan Maroef Sjamsudin. Sebagaimana dikutip SOLOPOS, 3 Desember 2015, Direktur Eksekutif Lingkar Madani (Lima) Indonesia Ray Rangkuti mengomentari bahwa sidang MKD sudah seperti debat kusir karena tidak membahas substansi laporan. Bahkan, beberapa anggota MKD seakan-akan menyudutkan Sudirman Said layaknya terdakwa.
Sidang MKD berikutnya pun menghadirkan bos PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsudin. Maroef pun menjelaskan kronologi dan motif pertemuan. Bahkan, Maroef pun berani memberi kesaksikan bahwa Setya Novanto tidak memiliki kewenangan dalam negosiasi kontrak karya Freeport. Dikutip SOLOPOS, 4 Desember 2015, Maroef menjawab pertanyaan Syarifudin Sudding bahwa 20 persen akan dibagi 11 persen untuk presiden dan 9 persen untuk wakil presiden.
Hal yang berbeda terjadi pada sidang MKD yang ketiga. Sidang ini dilaksanakan tertutup. Pelaksanannya berbeda dengan sidang sebelumnya. Sidang MKD ini menghadirkan teradu yaitu Setya Novanto. Sidang MKD kali ini tertutup karena alasan teknis dan khawatir jika ada informasi yang menyangkut rahasia negara.
Berdasarkan uraian kronologis pelaksanaan sidang MKD di atas, publik pun bisa menilai bahwa terdapat muatan politis persidangan MKD. Ketidakpercayaan yang sudah muncul sejak awal ketika kasus ini ditangani oleh MKD seolah-olah semakin diamini dalam persidangan-persidangan berikutnya. Ditambah lagi berbagai manuver politik dari beberapa anggota MKD yang berusaha mengganjal sidang. Yang lebih meyakinkan lagi ketika terdapat ketidakadilan pelaksanaan sidang MKD yang menghadirkan Ketua DPR, Setya Novanto. Bak makan buah simalakama, hasil sidang MKD akan menjadi bom waktu bagi DPR kalau hasil persidangan tidak sesuai dengan kehendak rakyat.
Krisis pendidikan karakter
Dagelan politik yang disuguhkan pemimpin-pemimpin negeri ini sebenarnya merupakan tamparan yang keras terhadap pencapaian tujuan pendidikan nasional. Sesuai dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Pembentukannya berwujud penumbuhan karakter sikap beretika (sopan santun dan beradab).
Sesuai dengan penjelasan Donie Koesoema dalam Ali (2012:180) bahwa paradigma pengimplementasian pendidikan karakter dalam pembelajaran harus disinergikan. Paradigma yang pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan moral yang lebih sempit yaitu menanamkan moral dalam diri anak. Paradigma yang kedua adalah melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas dengan melihat keseluruhan peristiwa sosial kemasyarakatan dari prespektif pendidikan. Artinya, orientasi pembelajaran dalam upaya menumbuhkan karakter sikap beretika harus menyinergikan hubungan antara pelaku pendidikan lain, seperti guru, keluarga, masyarakat, dan negara.
Pemufakatan antara Setya Novanto sebagai ketua DPR dengan pengusaha Riza Chalid dan Maroef Sjamsoedin, Bos PT Freeport menjadi model buruk bagi dunia pendidikan. Hal itu merupakan pembusukan karakter di ruang publik. Apalagi kita menyimak dalam pemufakatan tersebut ada ungkapan yang mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk memperpanjang kontrak karya PT Freeport. Lebih ironi lagi, kita menyimak isi rekaman pembicaraan yang berujar bahwa Novanto menyebut Jokowi orang yang koppig alias keras kepala. Ada lagi, Riza Chalid yang menjelaskan akan bilang ke Luhut untuk membagi saham 20 persen yaitu 11 persen ke presiden dan 9 persen ke wakil presiden. Ditambah lagi, janji dari Riza Chalid bahwa mereka akan happy-happy jika masalah saham selesai.
Pembusukan karakter di ruang publik akan menghambat implementasi nilai-nilai moral dalam ranah pendidikan. Penumbuhan moralitas diupayakan berangkat dari keluarga, difasilitasi lewat berbagai metode dan pendekatan belajar di sekolah, dan dibiasakan dalam lingkungan masyarakat seolah-olah sirna ketika negara belum bisa memberikan contoh teladan yang baik. Seharusnya negara mampu memberikan contoh teladan yang baik dan penuh moralitas melalui perilaku para pejabat negara. Sinergitas penbangunan karakter menjadi pincang. Ironi lagi, pendidikan karakter hanyalah ilusi belaka dalam implementasinya.
Melanggar nilai kesantunan berbahasa
Mengutip menelisik percakapan “Papa Minta Saham” pada SOLOPOS, 3 Desember 2015, terdapat ujaran yang berisi Novanto menyebut Jokowi orang yang koppig alias keras kepala. Sesuai dengan penjelasan Wijana (1996: 97-98), bahwa berbicara sebagai retorika interpesonal pragmatik membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Prinsip kesopanan memiliki sejumlah maksim kebijaksanaan, kemurahan, penerimaan, kerendahan hatian, kecocokan, dan kesimpatian. Ujaran Setya Novanto yang memberikan komentar terhadap Presiden Jokowi melanggar maksim kemurahan. Mengapa demikian? Karena maksim kemurahan menggunakan kalimat ekspresif dan asertif yang menuntut untuk penutur memaksimalkan rasa hormat kepada orang lain dan meminimalkan rasa tidak hormat kepada orang lain. Contoh, kalimat yang mengekspresikan “Permainanmu sangat bagus” lebih sopan daripada mengeskpresikan “Permainanmu tidak bagus sama sekali.” Dengan demikian, Setya Novanto dalam tuturannya yang mengatakan Jokowi Kopig atau keras kepala menerapkan ekspresi meminimalkan rasa hormat kepada orang lain dalam hal ini Presiden Jokowi. Tuturan Ketua DPR, Setya Novanto dapat dinilai tidak sopan.
Dengan demikian, pelaksanaan sidang MKD memberikan kelebihan dan kelemahan bagi masyarakat. Kelebihannya adalah dengan terbukanya pelaksanaan sidang MKD memberikan kesempatan masyarakat untuk memperoleh informasi seputar pelanggaran etika ketua DPR secara langsung. Namun, kelemahannya adalah publik dapat melihat model pemufakatan dalam sidang yang penuh dengan manuver politik yang berpihak pada kepentingan golongan yang berakibat ketidakpercayaan publik. Selain itu, ada model teladan yang buruk di wilayah publik ketika publik menyimak secara langsung rekaman pembicaraan yang berisi pemufakatan jahat yang dilakukan ketua DPR Setya Novanto tentang perpanjangan kontrak karya Freeport. Terdapat pula tuturan-tuturan yang melanggar prinsip kesopanan. Hal itu menyebabkan kebuntuan implementasi pendidikan karakter.

*) Staff  Pengajar SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta
Peminat isu moral dan pendidikan karakter

Daftar Pustaka
Anggota IKAPI. 2010. Undang-Undang Sisdiknas. Bandung: Fokus Media
Ali, Mohamad. 2012. Menyemai Sekolah Bertaraf Internasional. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah
Wijana, I Dewa Putu. 1996. Dasar-Dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset


Tidak ada komentar:

Posting Komentar