Rabu, 14 Agustus 2019

Kekompakan Perguruan


Guru dan karyawan sedang melakukan kegiatan penyembelihan hewan kurban.

Halaman gedung sekolah yang terletak di Jalan Pleret Raya Sumber, Banjarsari Kota Surakarta tersebut sudah ramai oleh kurang lebih 120 guru dan karyawan. Sekolah yang bernama SMA Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta menjadi tempat bagi 4 instansi yakni KB-TK Aisiyah, SD, SMP, dan SMA Muhammadiyah Program Khusus yang berada di bawah payung Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Surakarta tersebut untuk melakukan kegiatan penyembelihan hewan kurban. Maka tampak berwarna-warni oleh seragam yang dipakai guru dan karyawan tersebut. Sepertinya warna baju memberikan simbol instansi dimana mereka bernaung. Ada warna biru berpadu abu-abu untuk SMP PK, ada yang biru berpadu kuning untuk SD PK, dan ada pula yang berwarna hitam berpadu merah untuk KBTK, serta warna abu-abu berpadu putih untuk SMA. Saya pun mengambil posisi yang tepat di antara aktivitas penyembelihan hewan kurban tersebut. Dengan pisau yang kubawa dari rumah, aku beradu dengan kumpulan daging sapi yang berada di samping kiriku.

“Ayo Pak Slamet, kita bekerja sama ya memotong daging sapi,” ajakku sembari mengambil daging yang masih berlumuran darah. Daging itu baru saja diambil dari tempat penyembelihan yang terletak kurang lebih 10 meter dariku.

Pak Slamet pun menyambut tawaranku. Dengan senyuman yang khas mewarnai paras wajahnya, ia memegang kuat daging yang akan aku iris. “Diiris sebagian dulu lalu dikecilkan,” pintanya. Aku pun menuruti permintaannya. Sebagai seorang sahabat apalagi sesama guru yang memegang estafet untuk menjaga dan merawat bahasa nasional. Kami pun mengiris daging yang ada hingga tak terasa persediaan daging sudah mulai habis. Tapi, itu belum dua sapi lagi yang masih asik ngobrol di halaman sebelah barat. 

Seperti yang pernah kuceritakan sebelumnya, memang momentum berkurban dan penyembelihan hewan kurban merupakan saat memperkuat rajutan ukhuwah. Bukan hanya nilai pahala berkurban yang diberikan oleh Allah SWT, melainkan nikmat persatuan dan persaudaraan. 

Selain ada guru dan karyawan yang mengiris daging sapi. Ada pula yang memainkan pisau di atas paha sapi yang digantung alias ngeleti daging. Di sudut yang lain, terdapat orang yang menimbang daging sapi. Kemudian, diiris dan dibungkus oleh tim pembungkus daging sapi. Tim itu sudah siap dengan plastik dan daun jati. Selain itu, terdapat pula orang yang mematahkan tulang-tulang sapi dengan mesin pemotong. Tidak kalah penting adalah orang yang bertugas untuk mencuci jeroan sapi. Wah, lengkap ya ternyata pembagian tugasnya!

“Hati sapi tolong diiris kecil-kecil ya biar bisa dibagi,” arahan Ustaz Wahyu kepadaku.
“Iya siap Taz, Lha untuk yang berkuban gimana taz,” tanyaku.
“Yang kurban nanti hati sapi sudah ada sendiri,” jawabnya memberikan pencerahan.

Tidak berselang lama, hati sapi pun sudah kubelah belah jadi banyak. “Jadi berapa Taz?” tanya teman sampingku. “Jadi banyak….," jawabku sekenanya. "Ratusan hehehe," ada suara yang menimpali. Yang pasti hatiku tidak berbelah, hanya untuk isteriku seorang hehehehe.

Jarum pendek sudah menunjuk ke angka sepuluh sedangkan jarum panjang ke angka dua belas. Sudah saatnya daging sapi yang sudah dikemas didistribusikan. Coretan tinta hitam di atas kertas putih yang berisi daftar penerima kurban pun sudah kupegang. Kurang lebih dua ratusan daging sapi yang akan dibagikan kepada warga baik Sumber maupun Banyuanyar. Ada pula proposal masuk dari berbagai instansi. Tim distribusi pun dengan dibantu teman-teman menata kemasan daging sesuai dengan alokasi tempat. Dua distributor yakni Bang Ruslan dan Pak Parjo pun sudah siap dengan kendaraan berberonjong.

Tapi, tak berselang lama terdengar telepon dari isteriku bahwa Mbah Wiro kakung meninggal. Mbah Wiro kakung merupakan adiknya almarhum kakek di desa. Tinggalnya juga barat rumah Bapak di Tawangsari. Innalillahi wa Innailaihi rajiun. Aku pun bergegas berkomunikasi dengan tim distribusi lalu mohon ijin ke pimpinan untuk takziah. 

Catatan Peristiwa Rabu, 15 Agustus 2019.


Selasa, 13 Agustus 2019

Ajaran Berkurban

Warga sedang melakukan proses penyembelihan hewan kurban pada Ahad (11/8)
"Jamaah kita perlu merenung mengapa hari raya Idul Fitri dan Idul Adha berdekatan?" Ungkap Khotib Sholat Hari Raya Idul Adha di atas mimbar di depan para jamaah. Ustaz Arbai pun melanjutkan penjelasan kaitan dengan pertanyaan yang ia lontarkan kepada para jamaah. "Kita perlu merenung dan merenung. Ketika bulan Ramadan yang diakhiri dengan Idul Fitri kita diajak untuk meningkatkan rasa kesalehan individu dengan berpuasa dan berzakat maka pada Idul Adha kita diajak untuk berkurban meningkatkan rasa kesalehan sosial," paparnya dengan penuh semangat. 


Cahaya sinar mentari pagi pun sedikit menerangi paras Khotib waktu itu. Sepertinya cahaya itu semakin menambah semangat khotib untuk memberikan pendidikan makna Idul Adha. Saya pun duduk mendengarkan ceramah sambil berusaha mencerna kata demi kata yang dilontarkan pembicara waktu itu. Kepala pun terkadang tertunduk seolah mengikuti mata yang sedikit terpejam. Namun, pikiran berdiskusi dalam kepalaku. 

"Artinya, amalan-amalan bulan Ramadhan seperti puasa, zakat, sholat tarawih, dan sebagainya merupakan amalan melatih kesalehan individu. Tetapi, itu tidaklah cukup dalam kehidupan. Kesalehan individu perlu ditambah dengan kesalehan sosial. Daging kurban merupakan simbolisasi kesalehan sosial," kata-kata yang muncul dalam benak. 

Hatiku juga melakukan pemaknaan perasaan terhadap konklusi pikiranku,"Luar biasa ya cara Allah SWT untuk medidik umat-Nya."  

"Melalui keikhlasan berkurban dan memberikan daging kurban kepada warga masyarakat merupakan perwujudan kepekaan atau kepedulian untuk membantu sesama," ucapan dalam batinku memberikan penegasan terhadap diskusi dalam pikiranku. 

Kelopak mata yang seakan-akan tidak bisa diajak bekerja sama ketika pikiran dalam otak sedang berdiskusi. Maka dari itu, ya kusudahi saja pergulatan batinku. Ternyata paparan khotib pun sudah berujung dengan berdoa.

Tak lama kemudian, jamaah berdiri untuk bersalam-salaman. Acara belum berakhir karena pembaca acara mengarahkan jamaah untuk berbuka puasa bersama. Alhamdulillah teh hangat dan sekepal arem-arem mengganjal orkestrasi dalam perut sedari tadi. hehehe

**

Kurang lebih pukul 08.30 WIB setelah sarapan di rumah. Saya pun mengajak isteri untuk pergi ke tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban. Tanah cukup lapang yang dihiasi dengan rumah-rumahan atau tratag. Terdapat empat sapi dan 3 kambing yang sudah antre untuk bertemu dengan para penjagal. 

"Jamaah yang kurban silakan melihat hewan kurban saat disembelih," pinta salah seorang petugas.

Isteriku pun kuajak untuk mendekat dan mengambil gambar hewan kurban. Satu demi satu suara lenguhan sapi tak terdengar. Begitu pula suara kembikan kambing.

**

Pada kesempatan lain, saya pun bersama dengan jamaah bekerja sama untuk memotong daging kurban. Dengan menggunakan paralatan pisau besar dan pisau kecil, warga pun membentuk kelompok-kelompok untuk merawart daging kurban. Ada kelompok bagian merawat tulang, ada yang merawat daging, bahkan ada juga yang merawat jeroan hewan. Ada pula yang menjadi petugas penghitung jumlah daging.

"Awas kekiris tanganmu," ingat Mas Wiji.

"Yo bismillah hati-hati," jawabku sambil memotong daging. 

Saya memotong daging sedangkan Mas Wiji yang memegang dan mengarahkan daging yang mau dipotong. Metode memotong daging berpasangan seperti itulah yang menurutku sebagai cara jitu untuk mempercepat pekerjaan. Yang satu memegang dan yang satu memotong. Kalau dipakai dalam kegiatan belajar mengajar menurutku namanya metode power of two. Tapi, ada juga yang memotong daging kurban hanya beralaskan telenan. Setiap orang punya cara masing-masing. 

Suasana canda tawa selalu menghias kerja jamaah waktu itu. Apalagi pas mengiris daging kurban dapat organ vital sapi. "Ayo ini yang mau siapa," tanya salah seorang jamaah. "Nggo jenengan mawon, obat kuat hahaha, " ungkapnya canda.  

"Sulur sulur," tawar salah seorang jamaah.

"Mbah ... sulur mbah ... ben kuat," canda jamaah.

Memang suasana merawat dan memotong daging kurban begitu hangat sehingga tak terasa bahwa sudah menjelang Dhuhur. 

"Wis mateng rung?" tanya salah seorang jamaah. Pertanyaan itu juga pertanda bahwa sudah waktunya istirahat dan makan bersama yang dilanjutkan sholah Dhuhur. 

Daging kurban dibagikan kepada warga masyarakat bakda Dhuhur oleh remaja-remaja masjid.

**

Peristiwa-peristiwa di atas apabila dilihat dari sudut pandang sosial keagaaman begitu memberikan kontribusi terhadap kerukunan dan persatuan umat. Ajaran agama Islam yang berwujud Idul Adha dengan ajakan berkurban meneladani ketaatan Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim as dengan ikhlas kemudian mengorbankan putranya Ismail yang oleh Allah SWT kemudian diganti dengan seekor domba. Ajaran agama yang begitu luar biasa memberikan dampak sosial berupa kerekatan dan kesatuan umat. Selain itu, keikhlasan dalam berkurban juga menjadi nilai dalam perayaan Idul Adha. Semangat berkurban menyisihkan sebagian harta untuk membeli hewan kurban untuk dibagikan kepada warga masyarakat merupakan cara Allah SWT untuk melatih hamba-Nya ikhlas berbagi. 

Catatan peristiwa Tawangsari, Ahad. 13 Agustus 2019










Jumat, 09 Agustus 2019

Cerita Buku


Siswa sedang bercerita buku di perpustakaan sekolah.

Siang itu, aku mengajak para siswa mengawali belajar bahasa Indonesia dengan kegiatan bercerita buku atau resensi buku. Sudah ada tiga siswa yang akan menceritakan kisah-kisah buku yang sudah dibaca sekaligus mengulas kelebihan dan kelemahan buku. Aku pun mempersilakan siswa yang sudah siap.

"Ayo anak-anak ustaz persilakan yang sudah siap maju," pintaku kepada para siswa.
Tidak berselang lama si gadis berkaca mata yang biasa dipanggil Andrea itu pun maju. Ia bercerita tanpa membawa buku. Sepertinya kisah buku sudah dihafal di luar kepada. Memang lugas, ia mengisahkan tokoh Hiro dengan segala permasalahannya.Walaupun terkadang sempat bingung pula ia mengisahkan urutan cerita.
 
Kemudian majulah siswa yang kedua yakni Irun. Ia menceritakan buku yang tergolong masih baru kepada teman-temannya. Irun pun cukup sukses memukau rasa penasaran para siswa yang lain terhadap buku tersebut. 
Setelah Irun cerita, muncul beberapa pertanyaan dari para siswa. 
"Bagaimana alur ceritanya mudah ditebak?" tanya salah satu siswa putri yang duduk di meja depan.
Irun pun menjawab bahwa alur cerita membuat kita penasaran ingin membaca cerita terus karena alur cerita tidak mudah ditebak endingnya.
Aisya menjadi siswa yang ketiga maju untuk menceritakan buku yang sudah dibaca. Menarik dan membuat rasa penasaran memuncak lagi. Karena ia bercerita tentang buku yang memuat kisah peristiwa aktivis yang diculik lalu disiksa dan dimasukkan ke laut. Aisya pun sepertinya mampu dengan lancar menceritakan detail demi detail peristiwa yang terjadi. Hal itu membuat sorot mata semua siswa tertuju kepada Aisya yang berdiri di depan. Ya, judul buku tersebut Laut Bercerita karya Leila S. Chudori.
"Novel ini mengisahkan tentang tokoh aktivis yang diculik dan disiksa saat era orde baru," kisah gadis berpostur tinggi dan berkulit putih kepada teman-temannya.
Ia pun mengisahkan beberapa peristiwa secara detail yang membuat saya pun larut dalam kengerian peristiwa dalam cerita.
"Apa cerita itu berdasarkan true story atau cerita yang benar terjadi," tanyaku mengobati rasa penasaran.
"Menurut pengarang, cerita dalam Novel Laut Bercerita itu fikstif tetapi ada peristiwa yang berasal dari narasumber asli pelaku peristiwa tahun 1998," jawab Aisya kepadaku.
Kami pun memberikan tepuk tangan atas ketiga siswa yang sudah mau tampil bercerita dan berbagi kisah buku yang dibaca. 

"Anak-anak alhamdulillah hari ini kita tambah referensi buku ya, bagi yang masih penasaran ingin membaca bisa pinjam ke yang empunya," jelasku kepada para siswa. Minggu depan pun sudah ada tiga siswa yang akan berbagi cerita berdasarkan rekomendasi dari siswa yang sudah maju tadi.
Siswa sedang bercerita Novel.
Sebelumnya di kelas lain, sudah ada siswa juga yang bercerita tentang buku dari buku berhalaman tebal hingga buku yang tipis. Ada yang berkisah tentang novel terjemahan yang isinya tentang kisah mengerikan. Ada pula yang berkisah novel karya Adrea Hirata, pengarang fenomenal, yang berjudul Sang Pemimpi. Masih banyak kisah-kisah buku yang sudah dibagi para siswa kepada teman-temannya.

Kegiatan bercerita buku ini merupakan cara meningkatkan minat para siswa untuk membaca buku. Hal ini sebagai jawaban dari hasil penelitian Program for International Student Assessment (PISA) yang menunjukkan tingkat literasi Indonesia masih rendah. Bahkan menduduki rangking 62 dari 70 negara (Detik News.com, Sabtu 5 Januari 2019). Melalui bercerita buku tersebut rasa penasaran para siswa tentang kemenarikan buku dan kelemahan buku akan mereka peroleh. Selain itu juga mendekatkan para siswa dengan buku. 
Motivasi membaca buku bisa dipupuk dengan memberikan fasilitas reading corner di masing-masing ruang yang disesuaikan dengan desain yang kekinian dan nyaman. Koleksi buku pun lengkap sesuai dengan dunia siswa. Para siswa bisa memanfaatkan waktu luang untuk membaca buku. Selain itu, mereka juga bisa membaca buku di perpustakaan sekolah. Harapan dari itu semua adalah bagaimana minat membaca anak-anak bisa meningkat. Itu saja.


Sabtu, 10 Agustus 2019


Rabu, 07 Agustus 2019

Tas dan Sepatu Baru

Nizam belajar mewarnai.
 "Mas Nizam mau pilih tas yang mana?" tanya Ayah sembari menggendong Nizam dan menunjuk ke arah tas yang didisplay dengan digantung di salah satu suduh pusat perbelanjaan. Saat itu bakda Maghrib kami ajak Nizam untuk belanja.

Sigap Nizam pun menunjuk tas merah yang bergambar sepeda motor balap dan tokoh boy. Tas itu pun bertuliskan Boy si Anak Jalanan. 

"Motor balapan aja," pintanya.

"Kok ini Mas... yang lain saja," jawabku dengan nada merayu. Hal itu karena tas tersebut memang ukuran agak besar sih. Kubayangkan jika dipakai Nizam akan membuatnya susah berjalan.

Namun, ada hal yang membuatku terkejut. Kok pilih tas bergambar itu ya apalagi gambar tas itu seperti judul sinetron di televisi. "Wah, ini anak sering nonton sinetron ya sama Bunda," perkataan dalam benakku.

Aku dan istriku mengarahkan Nizam memilih tas yang berkarakter dunia anak seperti robot, tayo, atau mobil-mobilan. Seperti biasa, ia tidak menyukai karakter robot. Pilihannya jatuh pada tas berwarna merah berkarakter mobil.

Kami pun mengajak Nizam untuk memilih buku mewarnai yang dia suka. Seperti biasa pula ia tidak mau yang ada karakter robot. Pilihannya jatuh pada buku mewarnai bergambar binatang. Setelah itu, kami pun melengkapi dengan pensil warna.

Pada hari itu, memang saya dan Bunda Nizam sepakat untuk memberi motivasi kepada Nizam agar semangat dalam bersekolah. Maklum baru hari kedua dia kami daftarkan ke play group di deket rumah. Sebagai motivasi maka Ayah beliin tas beserta perlengkapan lengkap sedangkan Bunda beliin sepatu.

Tiba di rumah, Mas Nizam segera membuka peralatan yang ia beli tadi. Ia memakai kaos kaki dan sepatu sendiri. Kaos kaki ia masukkan dengan dua tangan dari kaki kanan dulu pelan-pelan lalu kaki kiri. Nizam pun memakai sepatu sendiri. Kemudian, ia segera beraksi berjalan mondar mandir ke kanan dan kiri. Bahkan ia berlari lalu melompati sebuah kursi kecil. Luar biasa semangatnya.

"Sayang... tas barunya ayo dipakai ya!" pinta Bunda.

Nizam pun segera memakai tas baru dan berjalan-jalan dengan tas baru. Tidak berlangsung lama, ia pun memutuskan untuk membuka buku merwanai yang baru dibeli lalu duduk belajar mewarnai.

Kami pun senang melihat semangat Nizam untuk belajar dan bersekolah. Dari hal itu, saya pun belajar ada kala anak memang perlu diberi motivasi dengan hadiah-hadiah (reward) yang sesuai konteks agar ia semangat melakukan aktivitas tersebut. Jika konteksnya tentang sekolah maka sekali waktu butuh tas dan sepatu baru.

Catatan peristiwa Rabu, 7 Agustus 2019




Selasa, 06 Agustus 2019

Jadi Tentara

Nizam bergaya dengan seragam tentara.

Sampai di rumah, anakku Nizam (berumur 2,11 tahun) minta memakai baju tentara lengkap dengan baret dan peluitnya. Maklum, baju tersebut sengaja dia pilih sendiri saat belanja di swalayan tadi siang.

"Ayo ... Bunda, pakai baju tentara!"

"Iya Mas Nizam. Pakaian dicuci dulu ya," pinta Bunda.

"Pakai baju tentara, sekarang!" ajak Nizam seolah-olah memaksa Bunda agar segera memakaikan baju tersebut.

Seketika seragam tentara lengkap dengan baret merah dan peluit yang menggantung di lengan melekat di badang Nizam. Sontak dia langsung berteriak, "Siappp gerakk!" Perintah berikutnya, "Hormat gerak!" sembari tangannya diangkat seolah-olah hormat kepada bendera merah putih.

Gerakan badan begitu tegap dengan langkah kaki dan tangan bagaikan tentara sungguhan. Ya.. walaupun terkesan bagongi sih, hahahaha

"Nih anak belajar dari mana ya gerakan-gerakan siap gerak hingga hormat gerak," batinku dalam hati.

Atau memang dia pernah melihat upacara tentara di you tube atau televisi, mungkin.

Secara teori sih, benar bahwa anak-anak belajar dengan melihat perilaku orang dewasa di sekelilingnya: bisa lewat televisi, youtube, atau melihat secara langsung. Dari situ, anak-anak belajar menirukan segala sikap, perilaku, bahkan perkataan secara spontan. Karena memang anak kecil belajar dengan menirukan. Belajar dari hal itu, kita harus menjaga tayangan visual yang memberikan tuntunan yang baik. Yah, kalau menirukan tentara sih nggak papa. Semoga bisa jadi tentara atau jenderal tentara ya, Nak.

Nizam begitu semangat berjalan mondar-mandir dengan langkah tegap yang membuat orang di sekitarnya bisa tertawa terpingkal-pingkal... Karena langkah kaki dan tangannya bareng.

Bahkan gerak jalannya sampai keluar rumah yang mengundang perhatian tetangga di sekitar rumah.

Nizam ... Nizam, baru suka ya jadi tentara.


Catatan peristiwa Ahad, 29 Juli 2019