Selasa, 13 Agustus 2019

Ajaran Berkurban

Warga sedang melakukan proses penyembelihan hewan kurban pada Ahad (11/8)
"Jamaah kita perlu merenung mengapa hari raya Idul Fitri dan Idul Adha berdekatan?" Ungkap Khotib Sholat Hari Raya Idul Adha di atas mimbar di depan para jamaah. Ustaz Arbai pun melanjutkan penjelasan kaitan dengan pertanyaan yang ia lontarkan kepada para jamaah. "Kita perlu merenung dan merenung. Ketika bulan Ramadan yang diakhiri dengan Idul Fitri kita diajak untuk meningkatkan rasa kesalehan individu dengan berpuasa dan berzakat maka pada Idul Adha kita diajak untuk berkurban meningkatkan rasa kesalehan sosial," paparnya dengan penuh semangat. 


Cahaya sinar mentari pagi pun sedikit menerangi paras Khotib waktu itu. Sepertinya cahaya itu semakin menambah semangat khotib untuk memberikan pendidikan makna Idul Adha. Saya pun duduk mendengarkan ceramah sambil berusaha mencerna kata demi kata yang dilontarkan pembicara waktu itu. Kepala pun terkadang tertunduk seolah mengikuti mata yang sedikit terpejam. Namun, pikiran berdiskusi dalam kepalaku. 

"Artinya, amalan-amalan bulan Ramadhan seperti puasa, zakat, sholat tarawih, dan sebagainya merupakan amalan melatih kesalehan individu. Tetapi, itu tidaklah cukup dalam kehidupan. Kesalehan individu perlu ditambah dengan kesalehan sosial. Daging kurban merupakan simbolisasi kesalehan sosial," kata-kata yang muncul dalam benak. 

Hatiku juga melakukan pemaknaan perasaan terhadap konklusi pikiranku,"Luar biasa ya cara Allah SWT untuk medidik umat-Nya."  

"Melalui keikhlasan berkurban dan memberikan daging kurban kepada warga masyarakat merupakan perwujudan kepekaan atau kepedulian untuk membantu sesama," ucapan dalam batinku memberikan penegasan terhadap diskusi dalam pikiranku. 

Kelopak mata yang seakan-akan tidak bisa diajak bekerja sama ketika pikiran dalam otak sedang berdiskusi. Maka dari itu, ya kusudahi saja pergulatan batinku. Ternyata paparan khotib pun sudah berujung dengan berdoa.

Tak lama kemudian, jamaah berdiri untuk bersalam-salaman. Acara belum berakhir karena pembaca acara mengarahkan jamaah untuk berbuka puasa bersama. Alhamdulillah teh hangat dan sekepal arem-arem mengganjal orkestrasi dalam perut sedari tadi. hehehe

**

Kurang lebih pukul 08.30 WIB setelah sarapan di rumah. Saya pun mengajak isteri untuk pergi ke tempat yang digunakan untuk menyembelih hewan kurban. Tanah cukup lapang yang dihiasi dengan rumah-rumahan atau tratag. Terdapat empat sapi dan 3 kambing yang sudah antre untuk bertemu dengan para penjagal. 

"Jamaah yang kurban silakan melihat hewan kurban saat disembelih," pinta salah seorang petugas.

Isteriku pun kuajak untuk mendekat dan mengambil gambar hewan kurban. Satu demi satu suara lenguhan sapi tak terdengar. Begitu pula suara kembikan kambing.

**

Pada kesempatan lain, saya pun bersama dengan jamaah bekerja sama untuk memotong daging kurban. Dengan menggunakan paralatan pisau besar dan pisau kecil, warga pun membentuk kelompok-kelompok untuk merawart daging kurban. Ada kelompok bagian merawat tulang, ada yang merawat daging, bahkan ada juga yang merawat jeroan hewan. Ada pula yang menjadi petugas penghitung jumlah daging.

"Awas kekiris tanganmu," ingat Mas Wiji.

"Yo bismillah hati-hati," jawabku sambil memotong daging. 

Saya memotong daging sedangkan Mas Wiji yang memegang dan mengarahkan daging yang mau dipotong. Metode memotong daging berpasangan seperti itulah yang menurutku sebagai cara jitu untuk mempercepat pekerjaan. Yang satu memegang dan yang satu memotong. Kalau dipakai dalam kegiatan belajar mengajar menurutku namanya metode power of two. Tapi, ada juga yang memotong daging kurban hanya beralaskan telenan. Setiap orang punya cara masing-masing. 

Suasana canda tawa selalu menghias kerja jamaah waktu itu. Apalagi pas mengiris daging kurban dapat organ vital sapi. "Ayo ini yang mau siapa," tanya salah seorang jamaah. "Nggo jenengan mawon, obat kuat hahaha, " ungkapnya canda.  

"Sulur sulur," tawar salah seorang jamaah.

"Mbah ... sulur mbah ... ben kuat," canda jamaah.

Memang suasana merawat dan memotong daging kurban begitu hangat sehingga tak terasa bahwa sudah menjelang Dhuhur. 

"Wis mateng rung?" tanya salah seorang jamaah. Pertanyaan itu juga pertanda bahwa sudah waktunya istirahat dan makan bersama yang dilanjutkan sholah Dhuhur. 

Daging kurban dibagikan kepada warga masyarakat bakda Dhuhur oleh remaja-remaja masjid.

**

Peristiwa-peristiwa di atas apabila dilihat dari sudut pandang sosial keagaaman begitu memberikan kontribusi terhadap kerukunan dan persatuan umat. Ajaran agama Islam yang berwujud Idul Adha dengan ajakan berkurban meneladani ketaatan Nabi Ibrahim atas perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim as dengan ikhlas kemudian mengorbankan putranya Ismail yang oleh Allah SWT kemudian diganti dengan seekor domba. Ajaran agama yang begitu luar biasa memberikan dampak sosial berupa kerekatan dan kesatuan umat. Selain itu, keikhlasan dalam berkurban juga menjadi nilai dalam perayaan Idul Adha. Semangat berkurban menyisihkan sebagian harta untuk membeli hewan kurban untuk dibagikan kepada warga masyarakat merupakan cara Allah SWT untuk melatih hamba-Nya ikhlas berbagi. 

Catatan peristiwa Tawangsari, Ahad. 13 Agustus 2019










Tidak ada komentar:

Posting Komentar