Selasa, 10 Mei 2016

Urgensi Pendekatan Konrtuktivisme Marhamah dalam Pendidikan



Urgensi Pendekatan Kontruktivisme Marhamah dalam pendidikan

Masih teringat santer di telinga kita maraknya peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap peserta didik akhir-akhir ini, meliputi baik kekerasan seksual maupun kekerasan fisik. Indikasi hampir setiap tahun masih terjadi peristiwa semacam itu. Seperti pemberitaan di Solopos, 30 September 2015, terjadi peristiwa pengeroyokan teman yang berujung maut terjadi di sekolah Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Banca Aceh. Siswa SD kelas VI, Nurul, dikeroyok oleh empat siswa di dalam ruang kelas sehingga ia mengeluh sakit di sekujur tubuhnya.Setelah dianiaya korban takut melapor kepada sekolah. Korban dirawat di rumah sakit sehingga akhirnya meninggal. Walaupun pemidanaan bersifat diversi hukum, namun perlu dicarikan solusi agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.
Terdapat pula peristiwa kekerasan seksual tindak asusila yang dilakukan kepada peserta didik insan pendidikan, seperti peristiwa pencabulan siswa yang dilakukan oleh salah seorang guru di Weru. Kalau terbukti bersalah rencananya Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Sukoharjo akan memecat guru sekolah menengah tersebut (Solopos, 31 Oktober 2015). Guru yang seharusnya menjadi sosok panutan bagi siswa, tetapi malah merusak masa depan muridnya sendiri. Hal ini sangat ironsi sekali dan mencoreng wajah pendidikan di tanah air.
Pemberitaan di Solopos, 10 November 2015, juga terjadi tindak asusila yang dilakukan oleh seorang pemuda warga Jatiyoso, Karanganyar, terhadap siswi SMP warga Girimarto, Wonogiri. Awalnya, Siswi tersebut kabur dari rumah dan dijemput oleh pemuda. Mereka menginap di rumah temannya hingga terjadilah perbuatan tidak halal tersebut. Efek dari hal itu warga Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogiri, sepakat melawan kejahatan seksual terhadap anak dengan memasang spanduk di beberapa lokasi.
Gambaran peristiwa-peristiwa di atas membuat kita miris melihatnya. Miris lagi peristiwa-peristiwa seperti itu hampir terjadi setiap tahun. Setiap tahun pasti terjadi. Sebagai insan pendidikan perlu kita rumuskan formula untuk memberikan solusi pemecahan masalah tersebut. Sebagaimana Imam Robandi (2010) dalam bukunya The Ethos Of Sakura, mengatakan bahwa habitat kehidupan di sekolah, di rumah, dan di masyarakat adalah sarana utama untuk menyebarluaskan iklim positif. Diibaratkan jamur yang tumbuh di tempat yang lembab. Jamur tidak perlu disuruh tumbuh pasti akan tumbuh kalau tempatnya lembab. Maka mengatasinya adalah dengan menghilangkan kelembapan. Solusi terhadap masalah kekerasan siswa di atas adalah membangun iklim habitat yang penuh kasih sayang. Habitat sekolah yang penuh suasana saling mengasihi, tolong-menolong, dan gotong-royong antara warga sekolah (baik guru, karyawan, maupun siswa).
Kasih sayang merupakan wujud perasaan emosi untuk mau mengasihi, membantu, menolong sesama umat manusia secara ikhlas. Kasih sayang adalah karakter yang mulia. Karena kasih sayang ini, muncul dari kepaduan kejujuran hati, kepedulian sosial, kesantunan, dan tanggung jawab diri.
Sebenarnya pembangunan karakter menjadi salah satu tujuan dalam implementasi kurikulum 2013.  Hal itu tercermin dalam kompetensi inti yang meliputi kompentensi sikap spiritual dan sikap sosial. Kompetensi sikap sipiritual berisi menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya. Adapun kompetensi sikap sosial meliputi menghargai dan menghayati perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun, percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Namun, terkadang terbentur di lapangan bagaimana cara mengajarkan kedua kompetensi tersebut dalam balutan materi pelajaran? Menurut hemat penulis, perlu ada terobosan-terobosan dalam impelementasi kurikulum 2013. Salah satunya adalah dengan pendekatan kontruktivisme marhamah.

Kontrukstivisme Marhamah
Menurut Daniel Muijs, dkk (2008) dalam bukunya Effective Teaching menjelaskan bahwa kontruktivisme merupakan pendekatan pengajaran yang mendasarkan pada premis bahwa murid-murid mengkontruksikan pengetahuan secara aktif dalam dirinya sendiri dan tidak menerima begitu saja dari guru. Terdapat prinsip dasar meliputi, belajar sebuah proses aktif; menyelesaikan konflik kognitif melalui pengalaman; situasi belajar secara sosial; dan belajar dengan memperdayakan pelajar; serta memungkinkan pelajar menemukan makna dan melakukan refleksi terhadap pengalaman realistis.
Adapun marhamah artinya kasih sayang. Kasih sayang itu merupakan ekspresi perasaan atau emosi dalam diri yang dimunculkan dari kepaduan kejujuran hati, kepedulian sosial, kesantunan, dan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Ada tiga prinsip untuk membangun marhamah yaitu 1) memandang orang dalam harkat, martabat, dan derajat  sebagai manusia merdeka, 2) menolong anak yatim, orang miskin, dan orang-orang kelaparan, 3) melakukan perbuatan berdasarkan hati yang tulus ikhlas. Ketiga prinsip itu berhubungan dengan masyarakat golongan bawah atau miskin.
Dengan demikian pendekatan kontruktivisme marhamah dalam penerapan di sekolah adalah pendekatan yang memperdayakan peserta didik untuk mengkontruksikan rasa kasih sayang dalam dirinya sendiri melalui pengalaman-pengalaman realistis di lapangan. Pengalaman realistis ini menyangkut kehidupan orang-orang yang membutuhkan pertolongan atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Diharapkan pembelajaran dengan pendekatan ini dapat menumbuhkan karakter kasih sayang dalam diri siswa tanpa ada paksaan dari siapa pun. Imbasnya menciptakan kehidupan yang damai dan berujung kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Implementasi: Model Home Stay
Contoh penerapan pendekatan kontruktivisme marhamah dengan menggunakan metode home stay atau study wisata. Sejalan dengan prinsip membangun marhamah maka tempat home stay yang dipilih adalah masyarakat yang termasuk golongan ekonomi bawah atau miskin. Lebih nyamannya di daerah dataran tinggi seperti Slogoimo, Nguntoronadi Wonogiri. Kontrukstivisme menggunakan empat fase yaitu fase star (tahap pengetahuan awal), fase eksplorasi (tahap penyelidikan), fase refleksi (tahap diskusi dan penjelasan konsep), dan fase aplikasi (tahap pengemangan dan penerapan).
1.      Fase Star
Pada tahap ini siswa dijelaskan tentang tujuan dan manfaat pembelajaran. Guru memberikan gambaran awal tentang tempat yang akan dikunjungi. Guru memancing siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar tempat yang akan dikunjungi. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan satu guru pendamping.
2.      Fase Eksplorasi
Pada tahap ini, siswa dan guru sudah berada di tempat home stay. Alangkah baiknya kalau bermalam 2 hingga 3 hari di rumah orang tua asuh. Guru membangkitkan gairah semangat siswa dengan game atau permainan sejenisnya. Kemudian, siswa diajak untuk melakukan kegiatan penyelidikan, pengumpulan data, dan interpretasi data melalui kegiatan yang dirancang guru. Kelompok-kelompok siswa terjun ke masyarakat untuk bertanya seputar kehidupan keluarga, mata pencaharian, pergaulan, dan sebagainya. Siswa melakukan observasi dan membuat catatan lapangan. Pada tahap ini guru memberikan kebebasan bagi siswa untuk mengeksplorasikan rasa keingintahuannya. Siswa juga terlibat diskusi secara internal dalam kelompoknya.
3.      Fase Refleksi (Diskusi dan Penjelasan Konsep)
Pada tahap ini siswa secara kelompok melakukan presentasi. Presentasi berisi penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya. Tugas guru memberikan penguatan bukan memberikan informasi. Dengan demikian, siswa sendiri yang membangun pemahaman tentang masalah yang dipelajari dan solusi yang diinginkan.
4.      Fase Pengembangan dan Aplikasi
Pada tahap ini siswa dan kelompok sudah mendapatkan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi. Kemudian, Siswa bersama kelompok menerapkan solusi terhadap masalah yang dihadapi. Seperti, salah satu orang tua asuh yang merencanakan panen jagung. Maka, kelompok siswa membantu panen jagung. Kegiatan yang lain, seperti membantu mengajar mengaji, menjadi muadzin, membantu menanam kacang, membantu mencari ikan, membantu mencari kayu bakar ke bukit, membantu belanja sayur ke pasar, membersihkan sekolah, dan kegiatan yang lainnya. Semua kegiatan dilakukan bersifat membantu, menolong, dan gotong royong. Pada akhir kegiatan, siswa bersama kelompoknya memberikan sedeqah (bantuan sembako) seikhlasnya kepada warga masyarakat.
Model metode home stay yang diuraikan di atas sebenarnya merupakan pengalaman penulis mengikuti kegiatan di salah satu SMP swasta Solo yaitu SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta. Metode ini banyak dirasakan manfaatnya. Tidak hanya membangun kearifan lokal, tetapi juga membangun kesalehan sosial. Peserta didik bisa tumbuh rasa kasih sayang terhadap sesama manusia tanpa membeda-bedakan harkat, derajat, dan kedudukannnya. Diharapkan dapat membangun generasi ulul albab yang marhamah.
Oleh Aryanto, S.Pd.
Staff Pengajar SMP Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta.






 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar