Urgensi Pendekatan Kontruktivisme Marhamah
dalam pendidikan
Masih
teringat santer di telinga kita maraknya peristiwa-peristiwa kekerasan terhadap
peserta didik akhir-akhir ini, meliputi baik kekerasan seksual maupun kekerasan
fisik. Indikasi hampir setiap tahun masih terjadi peristiwa semacam itu. Seperti
pemberitaan di Solopos, 30 September 2015, terjadi peristiwa
pengeroyokan teman yang berujung maut terjadi di sekolah Madrasah Ibtidaiyah
Negeri (MIN), Banca Aceh. Siswa SD kelas VI, Nurul, dikeroyok oleh empat siswa
di dalam ruang kelas sehingga ia mengeluh sakit di sekujur tubuhnya.Setelah
dianiaya korban takut melapor kepada sekolah. Korban dirawat di rumah sakit
sehingga akhirnya meninggal. Walaupun pemidanaan bersifat diversi hukum, namun
perlu dicarikan solusi agar peristiwa tersebut tidak terjadi lagi.
Terdapat
pula peristiwa kekerasan seksual tindak asusila yang dilakukan kepada peserta
didik insan pendidikan, seperti peristiwa pencabulan siswa yang dilakukan oleh
salah seorang guru di Weru. Kalau terbukti bersalah rencananya Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) Sukoharjo akan memecat guru sekolah menengah tersebut
(Solopos,
31 Oktober 2015). Guru yang seharusnya menjadi sosok panutan bagi siswa, tetapi
malah merusak masa depan muridnya sendiri. Hal ini sangat ironsi sekali dan
mencoreng wajah pendidikan di tanah air.
Pemberitaan
di Solopos,
10 November 2015, juga terjadi tindak asusila yang dilakukan oleh seorang
pemuda warga Jatiyoso, Karanganyar, terhadap siswi SMP warga Girimarto,
Wonogiri. Awalnya, Siswi tersebut kabur dari rumah dan dijemput oleh pemuda.
Mereka menginap di rumah temannya hingga terjadilah perbuatan tidak halal
tersebut. Efek dari hal itu warga Kecamatan Girimarto, Kabupaten Wonogiri,
sepakat melawan kejahatan seksual terhadap anak dengan memasang spanduk di
beberapa lokasi.
Gambaran
peristiwa-peristiwa di atas membuat kita miris
melihatnya. Miris lagi
peristiwa-peristiwa seperti itu hampir terjadi setiap tahun. Setiap tahun pasti
terjadi. Sebagai insan pendidikan perlu kita rumuskan formula untuk memberikan
solusi pemecahan masalah tersebut. Sebagaimana Imam Robandi (2010) dalam
bukunya The Ethos Of Sakura, mengatakan
bahwa habitat kehidupan di sekolah, di rumah, dan di masyarakat adalah sarana
utama untuk menyebarluaskan iklim positif. Diibaratkan jamur yang tumbuh di
tempat yang lembab. Jamur tidak perlu disuruh tumbuh pasti akan tumbuh kalau
tempatnya lembab. Maka mengatasinya adalah dengan menghilangkan kelembapan. Solusi
terhadap masalah kekerasan siswa di atas adalah membangun iklim habitat yang
penuh kasih sayang. Habitat sekolah yang penuh suasana saling mengasihi,
tolong-menolong, dan gotong-royong antara warga sekolah (baik guru, karyawan,
maupun siswa).
Kasih
sayang merupakan wujud perasaan emosi untuk mau mengasihi, membantu, menolong
sesama umat manusia secara ikhlas. Kasih sayang adalah karakter yang mulia.
Karena kasih sayang ini, muncul dari kepaduan kejujuran hati, kepedulian
sosial, kesantunan, dan tanggung jawab diri.
Sebenarnya
pembangunan karakter menjadi salah satu tujuan dalam implementasi kurikulum
2013. Hal itu tercermin dalam kompetensi
inti yang meliputi kompentensi sikap spiritual dan sikap sosial. Kompetensi
sikap sipiritual berisi menghargai dan menghayati ajaran agama yang dianutnya.
Adapun kompetensi sikap sosial meliputi menghargai dan menghayati perilaku
jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (toleransi, gotong royong), santun,
percaya diri dalam berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sosial dan
alam dalam jangkauan pergaulan dan keberadaannya. Namun, terkadang terbentur di
lapangan bagaimana cara mengajarkan kedua kompetensi tersebut dalam balutan
materi pelajaran? Menurut hemat penulis, perlu ada terobosan-terobosan dalam
impelementasi kurikulum 2013. Salah satunya adalah dengan pendekatan
kontruktivisme marhamah.
Kontrukstivisme
Marhamah
Menurut
Daniel Muijs, dkk (2008) dalam bukunya Effective
Teaching menjelaskan bahwa kontruktivisme merupakan pendekatan pengajaran
yang mendasarkan pada premis bahwa murid-murid mengkontruksikan pengetahuan
secara aktif dalam dirinya sendiri dan tidak menerima begitu saja dari guru. Terdapat
prinsip dasar meliputi, belajar sebuah proses aktif; menyelesaikan konflik
kognitif melalui pengalaman; situasi belajar secara sosial; dan belajar dengan memperdayakan
pelajar; serta memungkinkan pelajar menemukan makna dan melakukan refleksi
terhadap pengalaman realistis.
Adapun
marhamah artinya kasih sayang. Kasih sayang itu merupakan ekspresi perasaan
atau emosi dalam diri yang dimunculkan dari kepaduan kejujuran hati, kepedulian
sosial, kesantunan, dan rasa tanggung jawab terhadap sesama. Ada tiga prinsip
untuk membangun marhamah yaitu 1) memandang orang dalam harkat, martabat, dan
derajat sebagai manusia merdeka, 2) menolong
anak yatim, orang miskin, dan orang-orang kelaparan, 3) melakukan perbuatan
berdasarkan hati yang tulus ikhlas. Ketiga prinsip itu berhubungan dengan
masyarakat golongan bawah atau miskin.
Dengan
demikian pendekatan kontruktivisme marhamah dalam penerapan di sekolah adalah
pendekatan yang memperdayakan peserta didik untuk mengkontruksikan rasa kasih
sayang dalam dirinya sendiri melalui pengalaman-pengalaman realistis di
lapangan. Pengalaman realistis ini menyangkut kehidupan orang-orang yang
membutuhkan pertolongan atau masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Diharapkan
pembelajaran dengan pendekatan ini dapat menumbuhkan karakter kasih sayang dalam
diri siswa tanpa ada paksaan dari siapa pun. Imbasnya menciptakan kehidupan yang
damai dan berujung kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Implementasi: Model Home
Stay
Contoh
penerapan pendekatan kontruktivisme marhamah dengan menggunakan metode home
stay atau study wisata. Sejalan dengan prinsip membangun marhamah maka tempat
home stay yang dipilih adalah masyarakat yang termasuk golongan ekonomi bawah
atau miskin. Lebih nyamannya di daerah dataran tinggi seperti Slogoimo,
Nguntoronadi Wonogiri. Kontrukstivisme menggunakan empat fase yaitu fase star
(tahap pengetahuan awal), fase eksplorasi (tahap penyelidikan), fase refleksi
(tahap diskusi dan penjelasan konsep), dan fase aplikasi (tahap pengemangan dan
penerapan).
1. Fase Star
Pada
tahap ini siswa dijelaskan tentang tujuan dan manfaat pembelajaran. Guru
memberikan gambaran awal tentang tempat yang akan dikunjungi. Guru memancing
siswa untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar tempat yang akan
dikunjungi. Siswa dibagi menjadi beberapa kelompok dengan satu guru pendamping.
2. Fase Eksplorasi
Pada
tahap ini, siswa dan guru sudah berada di tempat home stay. Alangkah baiknya
kalau bermalam 2 hingga 3 hari di rumah orang tua asuh. Guru membangkitkan
gairah semangat siswa dengan game atau permainan sejenisnya. Kemudian, siswa
diajak untuk melakukan kegiatan penyelidikan, pengumpulan data, dan
interpretasi data melalui kegiatan yang dirancang guru. Kelompok-kelompok siswa
terjun ke masyarakat untuk bertanya seputar kehidupan keluarga, mata
pencaharian, pergaulan, dan sebagainya. Siswa melakukan observasi dan membuat
catatan lapangan. Pada tahap ini guru memberikan kebebasan bagi siswa untuk
mengeksplorasikan rasa keingintahuannya. Siswa juga terlibat diskusi secara
internal dalam kelompoknya.
3. Fase Refleksi (Diskusi dan
Penjelasan Konsep)
Pada
tahap ini siswa secara kelompok melakukan presentasi. Presentasi berisi
penjelasan dan solusi yang didasarkan pada hasil observasinya. Tugas guru
memberikan penguatan bukan memberikan informasi. Dengan demikian, siswa sendiri
yang membangun pemahaman tentang masalah yang dipelajari dan solusi yang
diinginkan.
4. Fase Pengembangan dan Aplikasi
Pada
tahap ini siswa dan kelompok sudah mendapatkan solusi terhadap permasalahan
yang dihadapi. Kemudian, Siswa bersama kelompok menerapkan solusi terhadap
masalah yang dihadapi. Seperti, salah satu orang tua asuh yang merencanakan
panen jagung. Maka, kelompok siswa membantu panen jagung. Kegiatan yang lain,
seperti membantu mengajar mengaji, menjadi muadzin, membantu menanam kacang,
membantu mencari ikan, membantu mencari kayu bakar ke bukit, membantu belanja
sayur ke pasar, membersihkan sekolah, dan kegiatan yang lainnya. Semua kegiatan
dilakukan bersifat membantu, menolong, dan gotong royong. Pada akhir kegiatan,
siswa bersama kelompoknya memberikan sedeqah (bantuan sembako) seikhlasnya
kepada warga masyarakat.
Model
metode home stay yang diuraikan di atas sebenarnya merupakan pengalaman penulis
mengikuti kegiatan di salah satu SMP swasta Solo yaitu SMP Muhammadiyah Program
Khusus Kottabarat Surakarta. Metode ini banyak dirasakan manfaatnya. Tidak
hanya membangun kearifan lokal, tetapi juga membangun kesalehan sosial. Peserta
didik bisa tumbuh rasa kasih sayang terhadap sesama manusia tanpa
membeda-bedakan harkat, derajat, dan kedudukannnya. Diharapkan dapat membangun
generasi ulul albab yang marhamah.
Oleh Aryanto, S.Pd.
Staff Pengajar SMP Muhammadiyah Program Khusus
Kottabarat Surakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar