Guru dan karyawan sedang melakukan kegiatan penyembelihan hewan kurban. |
Halaman
gedung sekolah yang terletak di Jalan Pleret Raya Sumber, Banjarsari Kota
Surakarta tersebut sudah ramai oleh kurang lebih 120 guru dan karyawan. Sekolah yang bernama SMA
Muhammadiyah Program Khusus Kottabarat Surakarta menjadi tempat bagi 4 instansi
yakni KB-TK Aisiyah, SD, SMP, dan SMA Muhammadiyah Program Khusus yang berada di
bawah payung Perguruan Muhammadiyah Kottabarat Surakarta tersebut untuk melakukan
kegiatan penyembelihan hewan kurban. Maka tampak berwarna-warni oleh seragam
yang dipakai guru dan karyawan tersebut. Sepertinya warna baju memberikan simbol
instansi dimana mereka bernaung. Ada warna biru berpadu abu-abu untuk SMP PK,
ada yang biru berpadu kuning untuk SD PK, dan ada pula yang berwarna hitam
berpadu merah untuk KBTK, serta warna abu-abu berpadu putih untuk SMA. Saya pun
mengambil posisi yang tepat di antara aktivitas penyembelihan hewan kurban
tersebut. Dengan pisau yang kubawa dari rumah, aku beradu dengan kumpulan
daging sapi yang berada di samping kiriku.
“Ayo
Pak Slamet, kita bekerja sama ya memotong daging sapi,” ajakku sembari
mengambil daging yang masih berlumuran darah. Daging itu baru saja diambil dari
tempat penyembelihan yang terletak kurang lebih 10 meter dariku.
Pak
Slamet pun menyambut tawaranku. Dengan senyuman yang khas mewarnai paras
wajahnya, ia memegang kuat daging yang akan aku iris. “Diiris sebagian dulu
lalu dikecilkan,” pintanya. Aku pun menuruti permintaannya. Sebagai seorang
sahabat apalagi sesama guru yang memegang estafet untuk menjaga dan merawat
bahasa nasional. Kami pun mengiris daging yang ada hingga tak terasa persediaan
daging sudah mulai habis. Tapi, itu belum dua sapi lagi yang masih asik ngobrol
di halaman sebelah barat.
Seperti
yang pernah kuceritakan sebelumnya, memang momentum berkurban dan penyembelihan
hewan kurban merupakan saat memperkuat rajutan ukhuwah. Bukan hanya nilai
pahala berkurban yang diberikan oleh Allah SWT, melainkan nikmat persatuan dan
persaudaraan.
Selain
ada guru dan karyawan yang mengiris daging sapi. Ada pula yang memainkan pisau
di atas paha sapi yang digantung alias ngeleti
daging. Di sudut yang lain, terdapat orang yang menimbang daging sapi.
Kemudian, diiris dan dibungkus oleh tim pembungkus daging sapi. Tim itu sudah
siap dengan plastik dan daun jati. Selain itu, terdapat pula orang yang mematahkan
tulang-tulang sapi dengan mesin pemotong. Tidak kalah penting adalah orang yang
bertugas untuk mencuci jeroan sapi. Wah, lengkap ya ternyata pembagian tugasnya!
“Hati
sapi tolong diiris kecil-kecil ya biar bisa dibagi,” arahan Ustaz Wahyu
kepadaku.
“Iya
siap Taz, Lha untuk yang berkuban gimana taz,” tanyaku.
“Yang
kurban nanti hati sapi sudah ada sendiri,” jawabnya memberikan pencerahan.
Tidak
berselang lama, hati sapi pun sudah kubelah belah jadi banyak. “Jadi berapa
Taz?” tanya teman sampingku. “Jadi banyak….," jawabku sekenanya.
"Ratusan hehehe," ada suara yang menimpali. Yang pasti hatiku tidak berbelah, hanya untuk isteriku seorang hehehehe.
Jarum
pendek sudah menunjuk ke angka sepuluh sedangkan jarum panjang ke angka dua belas.
Sudah saatnya daging sapi yang sudah dikemas didistribusikan. Coretan tinta hitam
di atas kertas putih yang berisi daftar penerima kurban pun sudah kupegang.
Kurang lebih dua ratusan daging sapi yang akan dibagikan kepada warga baik
Sumber maupun Banyuanyar. Ada pula proposal masuk dari berbagai instansi. Tim
distribusi pun dengan dibantu teman-teman menata kemasan daging sesuai dengan
alokasi tempat. Dua distributor yakni Bang Ruslan dan Pak Parjo pun sudah siap
dengan kendaraan berberonjong.
Tapi,
tak berselang lama terdengar telepon dari isteriku bahwa Mbah Wiro kakung
meninggal. Mbah Wiro kakung merupakan adiknya almarhum kakek di desa. Tinggalnya juga
barat rumah Bapak di Tawangsari. Innalillahi
wa Innailaihi rajiun. Aku pun bergegas berkomunikasi dengan tim distribusi
lalu mohon ijin ke pimpinan untuk takziah.
Catatan Peristiwa Rabu, 15 Agustus 2019.